Translate

Kamis, 24 Maret 2011

Dunia fantasi di pinggiran kota Bogor

Di akhir pekan beberapa bulan lalu saya mencoba mengunjungi salah satu tempat wisata alternatif bernama Tirta Sanita yang berada di pinggiran kota Bogor yaitu di sekitar perbatasan Tangerang – Bogor, tepatnya di daerah Ciseeng. Letaknya cukup jauh dan membingungkan pengemudi untuk yang datang pertama kali, karena penunjuk jalan yang mengarahkan kesana dapat dikatakan tidak ada dan satu-satunya cara adalah anda berhenti dan bertanya kepada masyarakat sekitar. Mungkin jika anda berada di BSD Tangerang, lalu dari BSD Junction, ambil arah lurus, terus saja hingga melewati kompleks The Green lalu mengikuti petunjuk jalan ke Puspitek. Di perempatan pasar Prungpung, ambil jalan yang lurus, nanti lokasi wisata ini terdapat di sebelah kiri jalan. Kira-kira jaraknya sekitar 22 km dari exit tol Serpong. Sebelum memasuki kawasan ini anda akan diminta untuk membayar sebesar Rp 1.000 / kendaraan untuk sumbangan lingkungan setempat. Kondisi jalan yang mengarah kesana pun sudah cukup bagus, dengan aspal walaupun di beberapa titik terdapat lubang, tetapi hati-hati saja jika membawa mobil kesana karena lebar jalanan biasa dilalui dua mobil berukuran minibus seperti Avanza yang menjadi tumpangan saya saat itu. Jadi, bila dilewati bus atau truk yang melintas, mobil-mobil lawan arah harus mengalah dengan berjalan perlahan dan meminggirkannya sedikit untuk memberi jalan untuk bus atau truk tadi.

Sesampainya disana, dari luar sebenarnya tempat itu tidaklah terlalu menarik. Tetapi bila dilihat dari tempat parkir yang sebesar lapangan bola, pengunjungnya banyak sekali. Dimulai dari bus wisata, mobil dan motor. Dan Dilihat dari plat nomor dari masing-masing kendaraan tersebut, ternyata pengunjung juga tidak hanya datang dari warga sekitar yang berplat huruf F saja. Tetapi juga dari Jakarta yang berhuruf plat B dan huruf-huruf plat lain yang saya kurang mengetahuinya.

Tempat wisata ini cukup menarik perhatian. Hampir di setiap akhir pekan tempat ini ramai dikunjungi oleh peminat dari kalangan keluarga atau muda mudi yang ingin bersenang-senang dengan permainan yang ada dan makan-makan dari restoran yang tersedia. Hal tersebut dikarenakan objek wisata alternatif ini memiliki permainan-permainan yang hampir mirip dengan Dufan atau Dunia Fantasi yang berada di Ancol, Jakarta Utara dan disesuaikan dengan keindahan alam, seperti Fancy Train yaitu kereta-keretaan, Bom-Bom Car, Monorel, Motor Cross, Bebek Air, Bola Air dan Rumah Balon. Walaupun tidak sebagus dan sebesar yang ada disana, tapi permainan ini cukup menghibur dan menyenangkan bagi pengunjung yang datang. Selain permainan-permainan tersebut, adanya Outbond, Education Farmer, penginapan, pemandian air panas, restaurant dan ruang pertemuan ini menambah daya tarik untuk tetap berada disana selama seharian atau menginap beberapa hari untuk menikmati fasilitas yang ada.
Tiket masuk ke lokasi ini tidaklah mahal, hanya sebesar Rp. 6.000,-/orang untuk anak-anak dan Rp. 8.000,-/orang untuk dewasa bila di hari libur dan akhir pekan. Dan tentunya tiket masuknya akan lebih murah apabila pengunjung datang pada hari biasa (hari kerja), yaitu kita hanya membayar Rp. 4.000,-/orang untuk anak-anak dan Rp. 6.000,-/orang untuk dewasa. Hal ini adalah strategi wajar marketing untuk membuat hari biasa tidak kalah ramai dari hari libur ataupun akhir pekan.

Walupun tempat hiburan alternatif ini tidak begitu mengagumkan dan bagus seperti yang ada di kota-kota besar dengan kecanggihan tekhnologi dan fasilitas yang high class. Tapi tempat ini layak anda coba untuk menjadi alternatif berwisata dan tetap bisa berkumpul bersama keluarga tanpa mengeluarkan biaya yang besar dan juga menghilangkan kepenatan dari rutinitas kerja dengan udara dan wilayah sekitar yang masih hijau. Selamat berlibur.

Senin, 21 Maret 2011

INAGURASI KOMUNIKASI 2011 : “Ngak Nyesel !!!”

Setelah para senior lama menanti , akhirnya konsep inagurasi komunikasi akan dibuat kembali oleh angkatan baru komunikasi 2010, dan direalisasikan pada tahun 2011. Menurut ketuanya, tahun ini ia dan teman-temannya akan menampilkan suatu tema yang berbeda, yaitu tema Budaya Indonesia. Dimana judul inagurasinya adalah Ririungan yang artinya berkumpul dalam bahasa Sunda. Karena menurut dia, Ririungan ini dapat mengakrabkan seluruh aspek yang ada di kampus UAI, khususnya anak Ilmu Komunikasi sendiri. Karena yang kita tahu, bahwa inagurasi ini adalah salah satu wadah untuk dapat mengenal satu sama lainnya sehingga menjadi akrab. Selain itu mereka juga ingin mengingatkan kembali budaya-budaya di Indonesia , mengingat banyak orang yang sudah terlena dengan modernisasi dan mendengar bahwa inagurasi-inagurasi sebelumnya lebih terlihat seperti prom night.
[caption id="attachment_20" align="alignleft" width="300" caption="Inagurasi Komunikasi 2010 "Retroadway" "][/caption]
Panitia penyelenggara yang berjumlah 17 orang dan terdiri dari beda kelas di 2010 ini akan menyiapkan beberapa hiburan band-band lokal, tarian daerah, games dan pengesahan angkatan baru yang diikuti dengan pemotongan tumpeng. Tepatnya teman-teman panitia mengajak para senior, alumni beserta rekan-rekan seangkatan supaya datang ke gedung dua8, Jl. Kemang Utara 28 Jakarta 12730 hari sabtu tanggal 2 April 2011 dimulai dari jam 7 hingga 11 malam.

Pokoknya buat yang nanti datang ke acara ini akan dibuat “Ngak Nyesel”, kata M. Ardhan A, Ketua Inagurasi 2011.

Minggu, 20 Maret 2011

PERBEDAAN adalah sebuah KEINDAHAN

Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman, dimulai dari keberagaman suku, adat, budaya, bahasa dan khususnya agama. Sehingga tidak heran apabila kita mempunyai sebuah pondasi “Bhinneka Tunggal Ika” yang katanya itu berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Tapi beberapa tahun terakhir negara ini mulai ditest dengan hantaman-hantaman kuat yang dapat merobohkan pondasi tersebut setelah dibangun selama 65 tahun. Dimulai dari konflik suku, adat, apalagi agama.

Joe Vitale dalam bukunya Hypnotic Writing bilang bahwa hal yang membuat cerita menjadi menarik yaitu Konflik. Ibarat sebuah masakan, hambar rasanya jika tidak pakai garam atau bumbu penyedap. Dan analogi seperti itu lah yang memang sedang terjadi di tempat kita tinggal. Tidak heran jika kita saat ini melihat disana-sini banyak hasutan yang sifatnya sudah tidak lagi terutup. Kalau kalian ingat saat zaman kekuasaan pemerintahan terlama di negara ini, bahwa hal seperti itu akan cepat “diatasi”. Sedikit saja kita membuat suatu kerusuhan seperti demo, tak segan-segan aparat akan bertindak. Tapi hal itu terjadi dikarenakan bapak kita satu itu memang mempunyai tujuan yang menurut dia positif, yaitu mempunyai visi pembangunan dan kritik-kritik seperti itu bisa menjadi penghambat secara tidak langsung.

Tetapi beda zaman, beda tradisi dan cara. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi sebuah konflik. Aplagi di zaman globalisasi saat ini, masyarakat kita sebenarnya dapat mencari informasi yang lebih relevan ketimbang dahulu yang informasi itu hanya berasal dari beberapa sumber dan sifatnya satu arah. Tapi sayangnya hal itu belum bisa mengalahkan sebuah provokasi ataupun hal-hal yang tidak terpuji lainnya.
Walaupun seperti ini adanya, dengan pendidikan yang sudah meningkat, masyarakat negeri kita seharusnya bisa melihat suatu masalah dengan sudut pandang yang berbeda.

Sehingga konflik-konflik mengenai perbedaan dan keragaman bisa terhindari. Karena sesungguhnya perbedaan itu diciptakan oleh Tuhan untuk menciptakan keindahan di muka bumi ini.
[caption id="" align="alignnone" width="490" caption="Indahnya keragaman"][/caption]

Selasa, 15 Maret 2011

Peci = Helm ?

Mungkin ini adalah sebuah cerita tidak asing buat teman-teman yang tinggal di daerah Jakarta Selatan ataupun buat kalian yang sering berjalan-jalan ke daerah di selatan jakarta ini. Ketika kalian sedang asyik berkendaraan dengan teman-teman menuju suatu tempat di malam minggu, tiba-tiba jalanan terhenti. Padahal hari itu bukan saatnya pulang jam kantor. Tapi dari kejauhan terlihat beberapa orang berompi, berpeci dan memegang tongkat bercahaya jingga atau merah ditenggah jalan. Tentu saja mereka bukan polantas (polisi lalu lintas) yang menyamar, tetapi mereka mempunyai tugas yang hampir mirip dengan polantas yang mengatur lalu lintas kendaraan disaat macet. Lebih tepatnya ini sebuah tugas khusus, karena tugasnya untuk mengarahkan sebuah konvoi motor, mobil dan kopaja dimana didalamnya memakai seragam yang hampir sama. Yaitu baju koko, sarung dan peci. Sambil berteriak-teriak diatas kopaja/mobil dan memegang bendera bertuliskan huruf arab, mereka mulai mengingatkanku pada rombongan Jak-Mania yang ingin mendukung tim kesayangannya berlaga.

[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Ilustrasi "Peci=Helm?""][/caption]

Sambil memperlambat hingga menghentikan laju motorku karena adanya konvoi tersebut. Aku memperhatikan satu persatu dari mereka yang konvoi tersebut. Sampai aku sadar bahwa ternyata dibeberapa tempat telah ada umbul-umbul dan spanduk besar dari sebuah pengajian. Ya, inilah pengajian yang pernah menutup akses jalan umum kerumahku saat Idul Fitri. Baiklah aku paham dengan itu.

Tapi lebih khusus aku  mengarahkan pandanganku pada mereka yang mengendari motor. Dengan baju dalaman yang dilapisi baju koko serta memakai sarung berserta peci. Apakah mereka tidak kedinginan? Dan apakah mereka tidak takut jika sesuatu yang tidak terduga bisa mengancam jiwanya karena panampilan mereka yang tidak aman? Padahal jelas di pasal 61 (1) Yo Psl. 23 (1) c UULAJ Yo Psl.69 & 70 PP 44/1993 yaitu "Kewajiban menggunakan helm bagi pengemudi atau penumpang sepeda motor maupun kendaraan bermotor roda empat atau lebih tanpa dilengkapi rumah-rumah". Jelas juga dong yah bahwa seharusnya polantas bisa saja menilang mereka karena tidak memenuhi syarat keamanan berkendara. Ajaib ternyata, walaupun saat itu ada polantas yang berpatroli. Tapi tetap saja tidak apa-apa. Lewat ya lewat saja. Mungkin mereka telah ada surat jalan kali ya. Tetapi waktu aku pernah ikut touring motor pun, aku tetap pake helm kok. Hemhh,, bisa berpikir berulang-ulang nih.

Ya, aku sih hanya bisa melihat apa yang terjadi dengan teman-teman kita itu, walaupun aturan bisa saja dilanggar, tetapi ketika jiwa telah mengancam baru deh sadar.

Salam,

Mirza